Michael Hartono

Jakarta, CNBC Indonesia – Publik dan investor saham tentu sangat tak asing dengan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Banyak yang mengenal saham BBCA sebagai salah satu saham blue chip dan emiten perbankan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar di Tanah Air.

Namun bank yang didirikan 65 tahun silam ini sempat goyang saat krisis keuangan melanda Asia pada 1998. Sejarah mencatat, tahun tersebut menjadi salah satu tahun paling kelam bagi perekonomian Indonesia sejak merdeka.

Nilai tukar rupiah melemah tajam dari Rp 2.000/US$ menjadi lebih dari Rp 10.000/US$. Output perekonomian domestik terkontraksi sampai 13% dan inflasi melesat tinggi.

Krisis ekonomi pun meluas menjadi gejolak politik dan krisis di dunia perbankan. Banyak bank kolaps karena para nasabahnya berbondong-bondong menarik dananya dari bank (bank rush). BBCA menjadi salah satu emiten perbankan yang terdampak dalam krisis tersebut. Bank rush terjadi di BBCA ketika pendirinya Sudono Salim (Salim Group) diisukan meninggal.

Meski mereda setelah Sudono Salim muncul di hadapan publik, namun aksi tarik dana kembali terjadi ketika kerusuhan Mei 1998 meletus. Bahkan kala itu lebih dari 30% Dana Pihak Ketiga (DPK) BBCA tergerus akibat nasabah yang terus menerus menarik uangnya.

Manajemen BBCA yang kewalahan sampai harus mengambil berbagai tindakan seperti membatasi penarikan dana lewat kasir hanya Rp 5 juta, ATM Silver Rp 500 ribu, dan ATM Gold Rp 1 juta. Namun keringnya likuiditas BBCA menjadikannya salah satu pesakitan dan harus diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

BBCA sampai harus disuntik modal oleh pemerintah dan BPPN menyatakan Grup Salim sebagai pemegang saham pengendali bank saat itu memiliki kewajiban kepada pemerintah senilai Rp 35 triliun. Munculnya kewajiban tersebut membuat saham BBCA berpindah kepemilikan.

Pemerintah akhirnya ‘mengempit’ lebih dari 90% saham BBCA. Namun peran pemerintah bukan untuk berbisnis apalagi mengelola banyak bank. Sehingga pemerintah memutuskan untuk menjual kepemilikan sahamnya di BBCA.

Dua dekade silam atau tepatnya pada tahun 2000, pemerintah mengumumkan rencana penjualan saham BBCA. Skenario penawaran umum (IPO) pun dijajaki. Namun akibat harga yang ditawarkan dirasa masih terlalu mahal, aksi korpoasi tersebut pun ditunda.

Content retrieved from: https://www.cnbcindonesia.com/market/20220404101354-17-328464/bukan-rokok-ini-yang-bikin-hartono-bersaudara-jadi-sultan.