Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia – Bagi investor atau uang tunai adalah raja selama resesi atau istilah populernya ‘cash is the king’. Menjaga aset likuid menjadi langkah utama mengamankan posisi.

Oleh karena itu, investor sering menambahkan uang tunai ke strategi portofolionya selama masa ketidakpastian keuangan. Namun, melakukannya secara berlebihan dapat memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan.

Sebagai konsumen dan investor, uang tunai tampak seperti investasi yang aman. Secara nominal, hal itu adalah benar. Memegang uang tunai tidak akan tiba-tiba membuat nilai aset Anda anjlok. Tetapi terlalu mengandalkan uang tunai dapat mengurangi kemampuan Anda untuk memenuhi tujuan jangka panjang Anda.

Untuk memahami lebih lanjut, simak tujuh pro dan kontra memegang uang tunai selama resesi yang dikutip dari Forbes, Kamis (29/9/2022).

1. Likuiditas vs Godaan

Pro: Uang tunai berarti likuiditas.

Salah satu risiko terbesar bagi individu dalam resesi adalah ancaman kehilangan pekerjaan atau tagihan selangit. Dengan uang tunai yang solid di kantong Anda, lebih mudah untuk menavigasi ketidakpastian dengan lebih percaya diri dan mengetahui bahwa Anda siap secara finansial.

Kontra: Uang tunai menyebabkan godaan

Di sisi lain, kelemahan utama dari menyimpan uang tunai godaan untuk membelanjakannya. Ketika resesi datang dan waktu semakin ketat, Anda akan tergoda untuk memanfaatkan saldo kas Anda sekedar untuk merasakan kelegaan.

2. Suku bunga vs Inflasi

Pro: Suku bunga naik

Kita hidup di masa ekonomi yang unik. Pasalnya, ‘hantu’ resesi bisa sering datang dengan inflasi yang lebih rendah atau bahkan deflasi. Di sisi lain, ekonomi negara maju, seperti AS, bergulat dengan rekor inflasi tertinggi empat dekade sebesar 8,5% karena masalah rantai pasokan yang sedang berlangsung saat ini.

Karena inflasi tetap pada rekor tertinggi, Federal Reserve melawan balik dengan menaikkan suku bunga.

Dengan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk tabungan dan rekening Anda pasar uang, ini menjadi kabar baik bagi ‘si rajin menabung’.

Kontra: Inflasi tidak turun

Di sisi lain, dunia masih berjuang dengan inflasi yang tinggi dan inflasi memakan uang tunai Anda. Bahkan jika rekening tabungan Anda bunganya naik 2%, 3%, atau bahkan 4%, tetap saja uang Anda menguap.

Contohnya, warga AS masih kehilangan 8,5% dari daya beli karena inflasi. Jika inflasi di Indonesia di atas 5% tahun ini, maka itu adalah persentase nominal yang akan menggerus simpanan Anda.

Artinya, memegang uang tunai selama resesi sama saja dengan kehilangan daya beli.

3. Minim Risiko vs Batasan Jaminan

Pro: Uang tunai memiliki risiko rendah

Tidak seperti saham, crypto, dan instrumen investasi lainnya, sebagian besar akun berbasis uang tunai menawarkan asuransi untuk melindungi uang tunai Anda. Di Indonesia, tabungan Anda dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kontra: Batas Jaminan

Semakin lama Anda menimbun uang tunai di rekening bank, semakin besar kemungkinan Anda pada akhirnya akan menabrak batas jaminan simpanan. Jika Anda menyimpan lebih dari batas dan institusi mengalami kerugian, Anda mungkin kehabisan sisa saldo Anda.

Patut diingat, jumlah tabungan ataupun simpanan yang dijamin LPS adalah Rp 2 miliar untuk setiap nasabah pada satu bank, serta memiliki suku bunga tidak melebihi tingkat bunga penjaminan LPS. Artinya, simpanan Anda tetap berisiko.

4. Uang Tunai Ekstra vs Ekstra Sabar

Pro: Uang ekstra berarti lebih banyak uang untuk aset dengan harga rendah

Semakin banyak uang tunai yang Anda pegang, semakin banyak likuiditas yang Anda miliki untuk mengambil peluang besar.

Misalnya, ketika gelembung properti meledak dan harga real estat turun sepertiga secara nasional. Kondisi ini membuat banyak properti murah. Bayangkan saja jika Anda membeli rumah di masa resesi dan menjualnya ketika ekonomi tumbuh.

Dan itu bukan hanya real estat. Ketika resesi datang, harga segala sesuatu mulai dari saham, obligasi, hingga komoditas bisa turun. Menyimpan uang tunai berarti bahwa ketika peluang ini datang mengetuk, Anda sudah di garis terdepan untuk menjawab peluang.

Kontra: Ekstra sabar

Di sisi lain, menunggu peluang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Mustahil untuk benar-benar mengenali peluang bagus sampai badai resesi itu berlalu.
Dengan uang tunai, Anda akan kesulitan untuk bertindak gegabah dan terlalu dini. Ujung-ujungnya, Anda tidak akan bertindak sama sekali. Hasilnya, Anda hanya memiliki portofolio penuh uang tunai dan tidak ada keuntungan besar yang bisa ditunjukkan.

5. Diversifikasi vs Uang Nganggur

Pro: Uang tunai tidak harus berarti tunai

Menambahkan uang tunai ke strategi investasi Anda menambah diversifikasi aset. Diversifikasi ini merupakan komponen penting untuk keberhasilan investasi. Dengan dukungan likuiditas, ini akan menjadi penopang jika Anda menyimpang terlalu jauh dari tujuan diversifikasi Anda di aset lainnya.

Namun di dalam dunia investasi, uang tunai tidak harus berupa uang tunai. Sebaliknya, uang tunai dapat berupa investasi apa pun yang relatif aman dan dapat Anda cairkan dengan cepat.

Itu berarti rekening pasar uang dan reksa dana, sertifikat deposito (CD), surat utang negara dan investasi jangka pendek lainnya yang berbunga masih dihitung likuid.

Kontra: Peluang uang tunai di tempat lain

Namun, membiarkan uang tunai menganggur kapan saja – baik di masa resesi atau tidak – berarti kehilangan potensi pengembalian di investasi lainnya. Itu adalah trade-off yang harus diterima investor dan deposan. Pertempuran antara return yang lebih tinggi dan keamanan finansial adalah hal normal.

Kendati demikian, harus diingat, kelebihan uang tunai berarti lebih sedikit modal yang diserap pasar dan kondisi ini dapat menurunkan return jangka panjang Anda.

Content retrieved from: https://www.cnbcindonesia.com/investment/20220929083300-21-375808/fenomena-cash-is-the-king-di-era-resesi-aman-nggak-sih.