Source : CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah melemah 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.410/US$ sepanjang pekan lalu. Meski tipis, tetapi Mata Uang Garuda kini sudah melemah dalam 6 pekan beruntun.
Dolar AS yang sedang perkasa membuat rupiah sulit menguat. Penguatan dolar AS tak lepas dari ekspektasi pelaku pasar terhadap pemulihan ekonomi AS pasca dihantam pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Gubernur bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, dalam rapat kerja bersama Kongres AS di pekan ini, menyebut perekonomian AS akan sangat kuat di tahun 2021.
“(Perekonomian AS) akan sangat-sangat kuat pada tahun ini. Kemungkinan besar seperti itu,” tegas Powell menjawab pertanyaan tentang prospek ekonomi Negeri Paman Sam, Rabu (25/3/2021).
Kabar buruk lainnya, pelaku pasar kini semakin “memihak” ke dolar AS. Hal tersebut tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (25/3/2021) pekan lalu menunjukkan angka positif di semua mata uang utama Asia. Artinya, pelaku pasar mengambil posisi beli dolar AS terhadap 9 mata uang utama Asia.
Pelaku pasar sudah mengambil posisi jual terhadap rupiah sejak 11 Maret, dan semakin besar dalam survei terbaru dimana angkanya 0,45 dari 2 pekan lalu 0,22.
Pada survei yang dirilis 11 Maret lalu, selain rupiah, pelaku pasar juga mengambil posisi jual terhadap dolar Singapura, won Korea Selatan, peso Filipina dan baht Thailand. Sementara untuk rupee India, dolar Taiwan, dan yuan China pelaku pasar masih mengambil posisi beli.
Tetapi di survei terbaru, pelaku pasar mengambil posisi jual di semua mata uang tersebut, dan ini menjadi yang pertama kalinya dalam satu tahun terakhir.
Survei ini terbilang cukup mencerminkan pergerakan rupiah sejak tahun lalu. Kala pelaku pasar mengambil posisi jual rupiah melemah, tetapi ketika mengambil posisi beli rupiah cenderung menguat.
Sementara itu sepanjang pekan ini, ada data purchasing managers’ indeks (PMI) serta inflasi Indonesia yang bisa mempengaruhi pergerakan rupiah.
Secara teknikal, rupiah kini berada di atas rerata pergerakan (moving average) MA 200 hari, sebelumnya juga sudah melewati MA 50 (garis hijau), dan MA 100 (garis oranye). Artinya rupiah kini bergerak di atas 3 MA sehingga tekanan menjadi semakin besar.
Meski demikian, Selasa (9/3/2021) rupiah yang disimbolkan USD/IDR membentuk pola Shooting Star. Pola ini merupakan sinyal pembalikan arah, artinya USD/IDR berpotensi bergerak turun dengan kata lain rupiah berpeluang menguat.
Potensi penguatan rupiah diperbesar oleh indikator stochastic berada di wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic yang sudah berada di wilayah overbought dalam waktu yang cukup lama membuka ruang bangkitnya rupiah.
Untuk bisa menguat, rupiah pertama harus mampu menembus MA 200 di kisaran Rp 14.350-14.360/US$.
Jika mampu dilewati, target terdekat rupiah menguat ke Rp 14.250/US$ di pekan ini.
Sebaliknya, selama tertahan di atas MA 200, rupiah berisiko masih terus tertekan ke Rp 14.500/US$ dan membukukan pelemahan 7 pekan beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA