Source : CNBC Indonesia

Ilustrasi Rupiah dan Dolar di Bank Mandiri

 Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia –  Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Senin (5/3/2021), setelah membukukan pelemahan dalam 7 pekan beruntun. Selama periode tersebut, Matra Uang Garuda merosot 5,45%.

Melansir data Refinitiv, rupiah pada hari ini membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.510/US$. Apresiasi rupiah bertambah menjadi 0,1% di Rp 14.505/US$ pada pukul 9:10 WIB

Dalam beberapa pekan terakhir, rupiah terus tertekan melawan dolar AS akibat ekspektasi pemulihan ekonomi serta kenaikan inflasi di AS yang membuat pelaku pasar melepas kepemilikan obligasi (Treasury). Alhasil, yield Treasury AS tenor 10 tahun terus menanjak ke atas 1,7% dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020.

Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisih dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit, sehingga memicu capital outflow yang membuat rupiah tertekan.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 2%.

Meski pasar melihat pemulihan ekonomi AS bisa berjalan dengan cepat, tetapi data tenaga kerja memberikan gambaran yang sedikit berbeda.

Tingkat pengangguran di bulan Maret memang turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%, kemudian penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) tercatat sebanyak 916.000 orang, terbanyak sejak Agustus 2020 lalu.

Tetapi ada satu yang mengganjal, rata-rata upah per jam turun 0,1% pada bulan lalu, setelah naik 0,3% di bulan sebelumnya. Padahal, upah merupakan komponen penting dalam pemulihan ekonomi AS, serta kenaikan inflasi.

Dengan penurunan rata-rata upah per jam tersebut, laju kenaikan inflasi kemungkinan akan terhambat. Apalagi pada bulan Februari lalu, inflasi AS (yang dicerminkan oleh Personal Consumption Expenditure/PCE inti) tumbuh di 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%.

Inflasi PCE merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) untuk merubah kebijakan moneternya, ketika inflasi masih lemah, maka kebijakan moneter ultralonggar masih akan dipertahankan.

Alhasil, dolar pun melemah merespon data tenaga kerja AS pekan lalu.

Pada pekan lalu, kabar baik dan kurang sedap datang dari dalam negeri hari ini. Data yang Kamis (1/4/2021) menunjukkan aktivitas manufaktur Indonesia meningkat tajam pada Maret 2021. Bahkan peningkatannya hingga mencapai posisi tertinggi sepanjang sejarah.

Aktivitas manufaktur, dicerminkan oleh Purchasing Managers’ Index (PMI), berada di 53,2 pada Maret 2021. Naik cukup tajam dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9 sekaligus menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah pencatatan PMI oleh IHS Markit yaitu sejak April 2011.

“Perbaikan yang menembus rekor ini didorong oleh pertumbuhan pesanan baru (new orders) dan produksi (output), keduanya mencapai angka tertinggi sejak survei dilakukan Produksi meningkat lima bulan beruntun karena dorongan permintaan baru,” sebut keterangan tertulis IHS Markit, Kamis (1/4/2021).

Dengan tingginya permintaan dan produksi, perusahaan meningkatkan pemesanan bahan baku. Para responden optimistis bahwa peningkatan produksi akan bertahan lama (sustainable) setidaknya sampai tahun depan.

Data tersebut menunjukkan pemulihan ekonomi masih terus berjalan.

Namun, laju inflasi Indonesia masih dalam tren melambat. Ini menjadi sinyal bahwa sepertinya resesi belum mau pergi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi umum pada Maret 2021 sebesar 0,08% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 1,37% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara inflasi inti tercatat -0,03% MtM dan 1,21% YoY.

Realisasi ini melambat dibandingkan Februari 2021. Kala itu, inflasi umum adalah 0,1% MtM dan 1,38% YoY. Sedangkan inflasi inti 0,11% MtM dan 1,53% YoY.

Sejak Januari, laju inflasi terlihat semakin melambat. Bahkan inflasi inti secara YoY berada di posisi terendah sejak BPS mulai melaporkannya pada 2004.

TIM RISET CNBC INDONESIA