Bisnis.com, JAKARTA – Hasil pertemuan para petinggi The Federal Reserve ( The Fed) turut direspons oleh pasar obligasi. Seperti diketahui, melalui pertemuannya pada Rabu (17/3/2021) siang waktu AS, The Fed memastikan akan tetap menjaga suku bunga acuan di level 0,25 persen setidaknya hingga 2023 mendatang.

Kemudian, Bank Sentral AS itu memproyeksi tingkat inflasi akan melonjak tahun ini hingga menyentuh 2,4 persen, di atas target mereka. Kondisi tersebut juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi Negara Paman Sam itu ke level 6,5 persen di 2021 ini.

Sikap The Fed turut direspons pasar obligasi. Mengacu pada data worldgovernmentbonds.com, imbal hasil atau yield obligasi AS berada kembali naik dan berada level 1,73 persen, setelah kemarin ada di level 1,64 persen.

Head of Economic Research Pefindo Fikri C. Permana mengatakan pada dasarnya tantangan utama pasar obligasi adalah tingkat inflasi, sehingga meski The Fed mempertahankan suku bunga acuannya, tapi tren inflasi yang terus naik ikut mengerek yield obligasi.

“Inflasi sudah tinggi duluan, jadi mau nggak mau kalau inflasi naik, US Treasury akan naik,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (18/3/2021).

Kendati demikian, dengan suku bunga acuan yang tetap rendah, Fikri menyebut spread yield US Treasure bertenor rendah akan lebih tertahan dan mendekati Fed Rate, sedangkan untuk tenor panjang akan semakin lebar.

Sementara itu, Fikri menyebut pergerakan yield surat utang negara (SUN) akan mengimitasi pergerakan yield US Treasury. Dia menyebut untuk SUN jangka pendek akan tertahan di kisaran 2-3 person, sedangkan yield SUN jangka menengah-panjang akan naik.

Fikri menilai kondisi ini sebenarnya akan menguntungkan bagi investor lokal karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan real yield yang semakin besar dengan tenor lebih panjang. Real yield merupakan selisih antara yield dengan tingkat inflasi suatu negara.

“Inflasi Indonesia 1,4 persen, SUN 10 tahun kita ada di 6,8 persen, jadi real yield sekitar 540 basis poin. Jadi harusnya sekarang jadi opportunity untuk domestik,” tutur Fikri.
Sebaliknya, tambah dia, untuk investor asing kondisi ini akan jadi pertimbangan lebih lanjut. Pasalnya saat ini nilai tukar rupiah tengah tertekan sehingga ada potensi selisih kurs jika ditukar menjadi denominasi dolar AS.

“Secara umum menurut saya domestik akan masih dominan tapi asing akan wait and see. Terlihat dari flow asing yang masih cumulative sales, tapi domestik naik,” pungkasnya.

Di sisi lain, dalam Rapat Dewan Gubernur hari ini, Bank Indonesia juga mempertahankan suku bunga acuan di level 3,50 persen.

Chief Economist Tanamduit Ferry Latuhihin sebelumnya memprediksi BI akan mengikuti langkah The Fed untuk menjaga suku bunga acuan tetap di level rendah.

Dia menuturkan, pilihan The Fed seharusnya membuat ketakutan pasar akan naiknya yield obligasi pemerintah AS berkurang dan tekanan terhadap rupiah serta harga SUN juga berkurang. “Rupiah dan harga obligasi kita diharapkan menguat kembali tahun ini,” katanya.

Di sisi lain, dia juga memperkirakan pasar modal dapat bergerak bullish dengan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang kemungkinan besar menuju arah 7000 di akhir tahun ini.

“Bahkan bisa terjadi di akhir kuartal III/2021 karena recovery ekonomi mengalami percepatan yg semakin tinggi di semester kedua tahun ini. Tahun ini adalah ‘year of risky assets, cash is trash’,” ujar dia.

Ferry menuturkan sejumlah sentimen pendukung antara lain prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 dapat mencapai 5,5 persen, tren kurva pandemi yang menurun, dan realisasi permintaan yang terpendam (pent-up demand) pada paruh kedua tahun ini.

Begitu pula dengan peluncuran vaksin Covid-19 di banyak negara maju telah menyiapkan panggung untuk pemulihan yang cepat pada paruh kedua tahun ini dan memasuki tahun 2022. Di Asia, China akan menjadi leader dalam ekspansi ekonomi melalui investasi langsung (direct investment) di berbagai negara di Asia.